BATULICIN, (8/8/2015)- Sehubungan dilakukannya perubahan spesifikasi pekerjaan median jalan pada ruas Batulicin – Tanah Merah yang merupakan proyek Multiyears dengan nilai Kontrak sebesar 32 Milyar, dikerjakan oleh PT. Jatibaru yang dilansir Poskobatulicin edisi 5 Agustus 2015 kemarin, menurut Fawahisah Mahabbatan, SE, SH, proyek ini terindikasi melanggar ketentuan-ketentuan pekerjaan fisik maupun pengadaan barang dan jasa.
Sebagai anggota Dewan dari Fraksi Amanat Demokrat ini, mengatakan, “saya hanya mengingatkan tidak ada tendensi lain sebagai anggota DPRD dari komisi III yang fungsinya melakukan pengawasan, budgeting dan legislasi. Untuk itu saya merasa juga bertanggung jawab mengawasi pekerjaan-pekerjaan proyek yang dilakukan oleh Dinas-dinas, salah satunya adalah Dinas Pekerjaan Umum,” serunya.
Selanjutnya dikisahkannya, bahwa jangan sampai setelah selesainya pekerjaan justru akan mendapatkan persoalan-persoalan baru. Untuk itu seharusnya pembatas jalan ini dicetak dalam bentuk plat beton atau kanstin, dengan menggunakan tuangan cor manual, setelah mutu beton terpenuhi, baru dipasang pada tengah ruas jalan, sesuai spesifikasi yang tertuang dalam kontrak awal.
Penyederhanaan pekerjaan yang dilakukan kontraktor pelaksana lanjut Fawahisah, dapat menghasilkan kualitas yang tidak sesuai dari rencana semula karena ketebalan plat beton yang dihasilkannya lebih tipis. Hal ini sangat merugikan pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu. Untuk itu, pihaknya mencoba melakukan analisa kajian hukum terhadap perubahan spek yang dilakukan oleh kontraktor PT Jatibaru.
Dijelaskannya, dalam setiap pekerjaan fisik maupun pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti dengan bukti perjanjian baik dalam bentuk Surat Perjanjian/kontrak maupun Surat Perintah Kerja (SPK). Kontrak adalah bentuk kesepakatan tertulis antara penyedia dan pengguna barang/jasa tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Lebih lanjut dikatakan fawahisah, dalam kontrak selalu diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang diperjanjikan, sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas atau kualitas barang dan jasa adalah tindak pidana. Perbuatan ini, seringkali dilakukan bersamaan dengan pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana penyerahan barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa penyerahan barang telah dilakukan sesuai dengan kontrak.
Terhadap hal ini tegasnya, KUHP pada pasal 263 ayat 1 dan 2 menyatakan,Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Dan diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. “Indikasi atas pelanggaran Undang-undang ini secara kasat mata sudah terang benderang,” tandas Fawahisah.
Ditambahkannya juga, pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 18 diatur tentang tugas pokok dan kewenangan dari Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), dimana PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan diantaranya, melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak, menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui pemeriksaan/pengujian dan membuat dan menandatangani Berita Acara Serah Terima Hasil Pekerjaan.
Lebih jauh Fawahisah mengungkapkan, secara legal formal tanggung jawab untuk menyatakan bahwa barang atau jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun kuantitasnya adalah PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga harus bertanggungjawab terhadap kekurangan ini.
Ditegaskannya, Penyedia yang melakukan kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 7 UU 20 Tahun 2001 ini, merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan pengawas, sehingga membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan Negara.
“Perbuatan curang yang dilakukan pemborong adalah mengerjakann suatu bangunan yang tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang sudah diatur dan disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat perjanjian kerja atau leveransir. Perbutan curang ini tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh atau negara menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan, dapat membahayakan keamanan orang atau barang juga dapat membahayakan keselamatan negara" Pungkas fawahisah.
Editor: Ryan Mokodompit